Gelaran Muktamar Fikih Peradaban I ini merupakan hasil inisiasi Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) yang memandang bahwa hingga saat ini, masih terdapat banyak masalah yang muncul dari agama. Gagasan awal serta alasan mengenai digelarnya Muktamar Internasional Fikih Peradaban I ini sebenarnya sudah ditulis Gus Yahya di dalam buku Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama (2020: 65). Ia menuliskan sebuah bagian yang berjudul "Mengakui Masalah, Menemukan Solusi".

 

Tim Pengelola Materi Muktamar Internasional Fikih Peradaban I, Najib Azca menjelaskan, urgensi forum akbar ini membincangkan pandangan syariat terhadap piagam PBB setidaknya pada dua aras, yaitu di lingkungan internal umat Islam dan di lingkungan pergaulan internasional.

 

Pada aras pertama, Muktamar Fikih Peradaban I merupakan ajakan dan dorongan kepada para ulama dan fuqaha untuk membangun konstruksi fiqhiyah yang solid dan diterima luas perihal legitimasi syariah bagi konstruksi negara-bangsa dan kesepakatan negara-bangsa, dalam bentuk kelembagaan dan piagam PBB. "Hal ini penting dilakukan karena perbincangan perihal tersebut absen dalam kanon-kanon fikih yang ditulis para ulama, yang memang sebagian besar disusun pada masa konstruksi politik berbasis khilafah," ujar Najib dalam siaran persnya, Sabtu (4/2/2023).

 

Pada aras kedua, menurut dia, ajakan dan dorongan untuk menengok dan memperkuat legitimasi terhadap Piagam PBB merupakan bagian dari ikhtiar untuk memperkuat multilateralisme dalam pergaulan internasional. "Belakangan ini terjadi penguatan terhadap pendekatan unilateralisme, krisis politik antarnegara diselesaikan secara unilateral, seperti perang Irak, Afghanistan, juga Rusia-Ukraina yang masih terjadi hingga kini," ucap wakil sekjen PBNU ini.

 

Najib menambahkan, langkah yang diambil PBNU ini bisa dilihat sebagai bagian dari ikhtiar besar, memperkuat multilateralisme dalam resolusi konflik dan penyelesaian krisis dalam pergaulan internasional.

Thoudy Badai/Republika

Jadi legitimasi

 

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengatakan, pembicaraan tentang tata dunia damai baru muncul setelah Perang Dunia II dengan lahirnya Piagam PBB. Sebelum itu, masyarakat dunia masih diliputi sektarianisme yang syarat konflik, termasuk di internal umat Islam sendiri.

 

Menurut dia, apabila hendak mengembangkan wacana syariat tentang perdamaian dan toleransi, harus bermuara dari Piagam PBB. Untuk itulah, hal pertama yang harus disepakati adalah soal kejelasan kedudukan Piagam PBB di mata syariat.

 

“Ini perjanjian sah atau tidak (di mata syariat)? Karena ini perjanjian di antara pemimpin-pemimpin politik. Kalau ini sah di mata syariat, ini urusan pertimbangan fikih, dengan disiplin yang sangat kompleks. Tapi rumusan itu yang bisa dijadikan pijakan dan mengikat bukan hanya bagi anggota PBB, melainkan bagi warga negara masing-masing,” ucap Gus Yahya di Jakarta, Rabu (1/2/2023).

 

Kalau dinyatakan sah oleh para ulama dunia di Muktamar Internasional Fikih Peradaban I, Piagam PBB itu akan menjadi pijakan untuk mengembangkan wacana yang lebih lugas dalam kerangka syariat Islam tentang perdamaian, toleransi, dan tentang hak asasi manusia (HAM) universal.

Ini perjanjian sah atau tidak (di mata syariat)? Karena ini perjanjian di antara pemimpin-pemimpin politik.

Hal ini penting dilakukan karena perbincangan perihal tersebut absen dalam kanon-kanon fikih yang ditulis para ulama, yang memang sebagian besar disusun pada masa konstruksi politik berbasis khilafah.

JAKARTA -- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar Muktamar Internasional Fikih Peradaban I (Fiqh al-Hadharah) di Hotel Shangri-La Surabaya, Jawa Timur, mulai Senin (6/2/2023). Dalam forum internasional ini, para ahli hukum dan mufti dari berbagai negara akan membahas berbagai isu modern, dari konsep Islam tentang negara modern, soal relasinya dengan non-Muslim, hingga terkait tata politik global.

 

Muktamar yang menjadi bagian dari Peringatan Harlah Satu Abad NU ini merupakan forum internal umat Islam di seluruh dunia. Perhelatan ini merupakan lanjutan dari Forum Religion Twenty (R20), yang telah digelar di Bali pada November 2022. Agenda muktamar akan dihadiri sekitar 300 ulama, yang terdiri atas 15 ulama sebagai pembicara kunci, baik dari dalam negeri maupun mancanegara.

 

Wakil Ketua Panitia Ahmad Ginanjar Sya'ban mengatakan, NU sudah memiliki khazanah tradisi dan keputusan yang bisa diadopsi masyarakat Muslim di belahan dunia lain, terutama yang menyangkut fiqh siyasah (fikih politik) dan aspek muamalah lainnya.

 

"Perhelatan internasional ini menjadi bagian tak terpisahkan dari misi PBNU untuk mendorong umat Islam di seluruh dunia, turut memikirkan problem internal umat Islam sendiri, lalu memberikan solusi konkret bagi masa depan peradaban dunia melalui norma-norma fikih," ujar dalam siaran pers PBNU di Jakarta, Sabtu (4/2/2023).

Ketua Bahtsul Masail PBNU, KH Mahbub Maafi menjelaskan, fikih peradaban adalah fikih yang memperbincangkan segenap masalah kemasyarakatan terkait dengan keagamaan dan kebangsaan. Urgensi adanya fikih ini bukan hanya demi kepentingan NU dan Indonesia, melainkan juga untuk masyarakat dunia. Kiai Mahbub menjelaskan, Muktamar Fikih Peradaban pada 6 Februari di Surabaya sebenarnya merupakan muktamar pertama karena akan berlanjut ke muktamar-muktamar berikutnya.

 

Menurut Kiai Mahbub, tema penting di dalam muktamar itu adalah terkait dengan penilaian fikih atas legitimasi piagam Perserikatan Bangsa Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai landasan tata dunia. Lewat muktamar tersebut, Kiai Mahbub menjelaskan, PBNU berupaya untuk membangun landasan fikih untuk perdamaian global. "Karena itu adalah satu masalah yang dianggap sangat urgen. Misalnya perjanjian PBB, lebih pada bagaimana kita itu memenuhi kesepakatan-kesepakatan (piagam PBB) itu bagaimana?"ujar dia kepada Republika.

 

Masalah lain yang akan dibahas dalam muktamar, yakni relasi antara Muslim dan non-Muslim. Menurut Kiai Mahbub, dalam perspektif fikih klasik dari jumhur mazhab, baik kalangan sunni maupun syiah, selama ini menilai jika relasi Muslim dengan non-Muslim berdasarkan konflik. Dia menjelaskan, beragam pandangan dengan pendekatan konflik tersebut pada akhirnya menyebabkan konflik muncul. Karena itu, terjadi banyak sekali konflik yang mengatasnamakan agama.

 

"Sebenarnya, bagaimana terhadap pandangan-pandangan demikian, pandangan yang mengatakan bahwa relasi Muslim dan non-Muslim konflik itu sebenarnya bagaimana? Itu fikih kita masih seperti itu. Pada akhirnya kita perlu memecahkan, mencari solusi," kata dia menjelaskan.

Juru bicara Muktamar Fiqih Peradaban, Ulil Abshar Abdalla menjelaskan, banyak dimensi yang merujuk pada peradaban. Dalam konteks fikih peradaban, para ulama akan mengulas tentang fikih siyasah seputar perubahan-perubahan fundamental dalam kehidupan umat Islam sejak abad ke-20. Khususnya, kemunculan institusi-institusi politik yang tidak pernah dikenal sebelumnya. "Misalnya institusi negara bangsa. Nah, negara bangsa sebagai institusi politik tidak pernah dikenal dalam sejarah umat Islam selama ratusan tahun sebelumnya. Karena selama ratusan tahun umat Islam hidup dalam institusi politik yang berbeda, yaitu institusi kerajaan," ujar dia.

 

Dia menjelaskan, dalam fikih peradaban, akan diulas bagaimana ulama menanggapi institusi baru tersebut yang memiliki dampak luar biasa. Semisal, menurut dia, institusi negara bangsa mengenalkan konsep kewarganegaraan yang berbeda dengan zaman dulu. Konsep ini membuat semua orang dianggap sama sebagai warga negara, apakah Muslim atau pun tidak. "Sementara dalam sistem kerajaan dulu, itu kan dibedakan antara warga Muslim dengan non-Muslim. Nah bagaimana ulama menanggapi masalah ini," kata dia.

 

Masalah lain yang tidak kalah penting adalah munculnya hukum negara yang tidak didasarkan seluruhnya terhadap agama. Dia menjelaskan, undang-undang yang dirumuskan oleh parlemen sebagai contohnya. Isi parlemen bukanlah ulama, melainkan politisi. Terkecuali, menurut dia, ulama yang menjadi anggota DPR.

 

"Sehingga ada realitas peradaban baru yang tidak ada dalam peradaban lama. Untuk itu, Gus Yahya mengajak berpikir hal-hal yang sifatnya substantif ya, agar kiai-kiai tidak sibuk mengurusi politik yang sifatnya pragmatis," kata dia.

top

Thoudy Badai/Republika

Oleh MUHYIDDIN, IMAS DAMAYANTI

Hal ini penting dilakukan karena perbincangan perihal tersebut absen dalam kanon-kanon fikih yang ditulis para ulama, yang memang sebagian besar disusun pada masa konstruksi politik berbasis khilafah.

Fiqih Peradaban

dan Legitimasi Piagam PBB